Pages

Labels

Rabu, 23 November 2011

Anak Kampung, Hauzah & Para Cendikiawan

Sedikit cerita tentang "Hauzah Banguntapan"

  Mungkin semua orang yang baru saja menyelesaikan pendidikan tingkat atas (SLTA) sangat familiar sekali dengan provinsi satu ini. Secara geografis provinsi ini bisa dibilang salah satu provinsi kecil di negeri ini, namun walaupun kecil secara geografis, provinsi ini mempunyai daya tarik tersendiri terutama dalam bidang pendidikannya dibandingkan dengan provinsi-provinsi yang lain. Banyak para pelajar di seluruh belahan nusantara yang melanjutkan studinya ke provinsi satu ini. Semua orang akan merasa senang dan ada kebanggaan tersendiri didalam hatinya apabila dapat melanjutkannya pendidikan di provinsi ini, “Daerah Istimewa Yogyakarta” begitulah biasanya orang sering menyebut provinsi ini. Di provinsi ini jugalah awal cerita yang terjadi dengan seorang anak kampung yang mencoba mengadu nasibnya untuk mencari apa yang telah menjadi kewajibannya “menuntut ilmu”.
  Kisah ini tepatnya terjadi pada tanggal 1 Agustus 2010, seorang anak kampung pergi meninggalkan kampung halaman, kedua orang tua, dan semua orang-orang terdekatnya dikarenakan untuk mencari apa yang telah menjadi kewajibannya. Awalnya terasa sangat berat yang dirasakan dalam hatinya untuk meninggalkan semuanya, namun bermodal dengan keyakinan dan niat yang ada didalam hati jualah semuanya dapat ia dilalui.
    Dari pulau sumatera ke pulau jawa perjalanan yang ia tempuh, kira-kira menghabiskan waktu selama dua hari satu malam dalam perjalanan. Suatu perjalanan sangat lama yang dirasakan olehnya. Ini mungkin disebabkan karena perjalanan pertama kali baginya yang menempuh jarak cukup jauh. Setelah menempuh perjalanan kira-kira selama 44 jam sampailah ia ke kota yang telah menjadi tujuan utamanya, peristiwa itu tepatnya terjadi pada tanggal 3 Agustus 2010 kurang lebih jam 01:30 wib dini hari.
   Di kota baru ini pertama kali yang ia kenal ialah “Hauzah Banguntapan” suatu tempat yang menjadi persinggahan para cendikiawan. Mungkin di tempat inilah dia merasa nyaman, hal ini mungkin disebabkan karana tempat ini yang menjadi tempat pertama kali ia memijakkan kakinya di kota baru ini. Ada satu hal lagi yang menjadi faktor mangapa ia tinggal di Hauzah, hal ini mungkin terjadi karena pengalaman pertama baginya merantau jauh ke daerah orang, sebelumnya anak terakhir (Si Bungsu) dalam keluarganya ini belum pernah merasakan yang namanya merantau jauh ke daerah orang “belum berani jauh dari orang-orang terdekatnya”, walaupun dia pernah merasakan jauh dari orang tua selama kurang lebih enam tahun. Dia  menamakannya bukan merantau, karena selama enam tahun tersebut ia masih bisa pulang dua kali dalam satu tahun, dan walaupun tidak pulang orang tuanya sering mengunjunginya, jaraknya pun masih sangat mudah untuk di jangkau kira-kira hanya dengan jarak tempuh selama satu jam setengah dari ke kampung halamannya. Hal ini sangat kontras sekali dengan yang ia rasakan di kota baru ini, pulang mungkin hanya satu tahun, tidak pernah ada kunjungan dari orang tuanya “hanya kunjungan uang saja melalui ATM” dan jarak tempuhnya juga memakan waktu berjam-jam di perjalanan.
    Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, begitupun bulan berganti menjadi tahun. Sudah satu tahun lebih seorang anak kampung itu tinggal atau lebih tepatnya di bilang dengan numpang singgah di tempat berkumpulnya para cendikiawan. Hari-hari yang di lalui olehnya selama ia tinggal di hauzah banyak sekali ilmu-ilmu yang ia dapatkan baik itu dari para cendikiawan yang ada di hauzah maupun dari warga-warga tetangga Hauzah Banguntapan itu sendiri.
     Mungkin hanya inilah yang dapat saya tuliskan “perjalanan seorang anak kampung selama satu tahun lebih tinggal di Hauzah Banguntapan”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar